Entah sejak kapan mulai populer ungkapan “Berbukalah dengan yang manis“. Ada yang mengatakan sejak sebuah iklan produk minuman menggunakan tagline tersebut di bulan Ramadhan. Sampai-sampai sebagian (atau banyak) orang menganggap ungkapan ini sebagai hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (!?!)
Yang jelas, tidak ada hadits yang berbunyi “Berbukalah dengan yang manis” atau semisalnya, atau yang mendekati makna itu. Baik dalam kitab hadits maupun kitab fiqih. Tidak ada sama sekali. Namun sayang sekali ungkapan ini disebar-sebarkan sebagai hadits oleh sebagian da’i dan juga public figure semisal para selebritis yang minim ilmu agama. Dan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
من حدَّثَ عنِّي بحديثٍ وَهوَ يرى أنَّهُ كذِبٌ فَهوَ أحدُ الْكاذبينِ
“barangsiapa yang menyampaikan hadits dariku suatu hadits yang ia sangka bahwa itu dusta, maka ia salah satu dari dua pendusta” (HR. Muslim dalam Muqaddimah-nya).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْمًا أنْ يُحَدِّثَ بكلِّ ما سمعَ
“cukuplah seseorang dikatakan pendusta ketika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar” (HR. Abu Daud 4992, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 2025)
Mengenai apa yang dimakan ketika berbuka sendiri sudah ada tuntunannya,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berbuka puasa dengan ruthab sebelum shalat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab (kurma muda) maka dengan tamr (kurma matang), jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air” (HR. Abu Daud 2356, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Namun memang, sebagian ulama dari hadits ini meng-qiyas-kan kurma dengan makanan yang manis-manis. Taqiyuddin Al Hushni, penulis kitab Kifayatul Akhyar menukil pendapat Ar Rauyani yang menyatakan demikian:
وَيسْتَحب أَن يفْطر على تمر وَإِلَّا فعلى مَاء للْحَدِيث وَلِأَن الحلو يُقَوي وَالْمَاء يطهر وَقَالَ الرَّوْيَانِيّ إِن لم يجد التَّمْر فعلى حُلْو لِأَن الصَّوْم ينقص الْبَصَر وَالتَّمْر يردهُ فالحلو فِي مَعْنَاهُ
Namun pendapat ini perlu dikritisi karena:
( إنَّ مِن الشجَرِ لما بَرَكَتُهُ كَبركةِ المسلمِ ) . فَظننتُ أنَّهُ يعني النخلةَ ، فأردتُ أنْ أقول : هي النخلةُ يا رسولَ الله ، ثم التَفتُّ فإذا أنا عاشِرُ عَشَرةٍ أنا أحْدَثهُم فسَكتُّ ، فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ( هيَ النَّخلَة )
“Sesungguhnya ada pohon yang daunnya tidak berguguran, dan ia merupakan permisalan seorang muslim. Pohon apa itu?”. Aku (Ibnu Umar) menyangka yang dimaksud adalah pohon kurma. Namun aku enggan “wahai Rasulullah, itu adalah pohon kurma”, maka aku berpaling. Karena aku terlalu muda untuk bicara kepada mereka, jadi aku diam saja. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberitahu jawabannya: “Pohon tersebut adalah pohon kurma” (HR. Bukhari 131, Muslim 2811).
Dalam kitab Sifat Shaumin Nabi fii Ramadhan (66) karya Syaikh Ali Al Halabi dan Syaikh Salim Al Hilali dikatakan: “ketahuilah wahai hamba Allah yang taat, bahwa kurma itu memiliki keberkahan-keberkahan yang khusus yang bisa mempengaruhi hati dan membersihkannya. Ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengikuti sunnah”.
Jika demikian makanan manis tidak bisa di-qiyas kan pada kurma, karena makanan manis biasa tidak memiliki keberkahan ini.
Namun qiyas Ar Rauyani ini bukanlah qiyas fasid karena sifat “manis” ini masih termasuk sifat yang munasib li binaa-il hukmi (sifat yang cocok untuk dijadikan bahan pemutusan hukum), namun merupakan qiyas yang lemah.
Dan pendapat Ar Rauyani (yang merupakan ulama Syafi’iyah) dibantah oleh banyak ulama fiqih yang lain, termasuk para ulama dari kalangan Syafi’iyah sendiri. Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan:
“فإن عجز” عن الثلاث “فبتمرة” أو رطبة يحصل له أصل السنة “فإن عجز” عن الرطب والتمر “فالماء” هو الذي يسن الفطر عليه دون غيره خلافًا للروياني حيث قدم عليه الحلو وذلك للخبر الصحيح المذكور
“[jika tidak ada] tiga tamr atau ruthab [maka dengan satu tamr] atau ruthab. Maka dengan ini tercapai pokok sunnah. [Jika tidak ada] ruthab dan tamr [maka dengan air]. Inilah yang disunnahkan dalam berbuka, bukan yang lainnya. Tidak sebagaimana pendapat Ar Rauyani yaitu ia mendahulukan makanan manis. Pendapat ini (didahulukannya kurma dan air) berdasarkan hadits shahih yang telah disebutkan” (Al Minhajul Qawiim, 1/252)
Zainuddin Al Malibari mengatakan:
قال الشيخان: لا شيء أفضل بعد التمر غير الماء فقول الروياني: الحلو أفضل من الماء ضعيف
“Syaikhan (An Nawawi dan Ar Rafi’i) mengatakan: ‘tidak ada yang lebih afdhal dari kurma selain air minum’. Maka pendapat Ar Rauyani bahwa makanan manis itu lebih afdhal dari air adalah pendapat yang lemah” (Fathul Mu’in, 1/274)
Dalam kitab Hasyiah Al Qalyubi Wa ‘Umairah (2/78) juga disebutkan:
قَوْلُهُ: (عَلَى تَمْرٍ) وَالْأَفْضَلُ كَوْنُهُ وَتْرًا وَكَوْنُهُ بِثَلَاثٍ فَأَكْثَرَ وَيُقَدِّمُ عَلَيْهِ الرُّطَبَ وَالْبُسْرَ وَالْعَجْوَةَ وَبَعْدَهُ مَاءُ زَمْزَمَ، ثُمَّ غَيْرُهُ، ثُمَّ الْحَلْوَاءُ بِالْمَدِّ خِلَافًا لِلرُّويَانِيِّ. وَيُقَدِّمُ اللَّبَنَ عَلَى الْعَسَلِ لِأَنَّهُ أَفْضَلُ مِنْهُ
“perkataan As Suyuthi: ‘dengan kurma’, menunjukkan bahwa yang afdhal berbuka dengan tamr yang jumlahnya ganjil, tiga atau lebih, dan yang lebih utama darinya adalah ruthab dan busr dan ajwah. Dan tingkatan setelah tamr adalah air zam-zam, baru yang lainnya, baru kemudian makanan manis sebagai tambahan. Tidak sebagaimana pendapatnya Ar Ruyani. Dan juga susu diutamakan dari pada madu karena susu lebih utama dari madu”.