Pengertian Berbuka Puasa
Berbuka puasa merupakan salah satu momen yang sangat penting selama bulan Ramadhan, di mana umat Islam berhenti berpuasa setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Dalam konteks ini, berbuka puasa bukan hanya sekadar kegiatan mengisi perut yang kosong, tetapi juga merupakan serangkaian ritual yang memiliki makna spiritual dan sosial yang mendalam. Momen ini biasanya dimulai dengan mengonsumsi makanan ringan, seperti kurma, dan dilanjutkan dengan hidangan utama yang lebih berat, tergantung pada tradisi masing-masing daerah.
Pentingnya berbuka puasa tidak dapat dipisahkan dari aspek komunitas dan kebersamaan. Banyak keluarga dan teman berkumpul dalam suasana penuh rasa syukur, berbagi makanan, serta menciptakan ikatan yang lebih kuat. Hal ini mencerminkan nilai-nilai sosial yang dianut dalam masyarakat Muslim, di mana berbagi makanan dengan orang lain dianggap sebagai tindakan mulia. Selain itu, berbuka puasa juga menjadi waktu yang tepat untuk saling mendoakan, menyebarkan kebaikan, dan menggugah rasa empati kepada mereka yang kurang beruntung.
Dari sudut pandang spiritual, berbuka puasa merupakan momen refleksi dan syukur atas semua nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Setelah seharian berpuasa, setiap suapan makanan yang diterima terasa lebih berarti, karena ia tidak hanya menghidupi tubuh, tetapi juga memberikan kesempatan untuk merasakan kebersamaan dan rasa syukur. Dengan demikian, berbuka puasa menjadi lebih dari sekadar mekanisme pengisian energi; ia juga merupakan sarana untuk meneguhkan iman dan melatih diri dalam mengendalikan nafsu. Dalam konteks ini, berbuka puasa memang sangat berarti bagi pengembangan spiritual dan hubungan antarsesama.
Tradisi Berbuka dengan Makanan Manis
Tradisi berbuka puasa dengan makanan manis telah menjadi kebiasaan yang kuat di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berbuka puasa merupakan waktu yang dinanti bagi umat Islam, di mana mereka dapat menikmati sajian lezat setelah seharian berpuasa. Salah satu hal yang paling umum dilakukan adalah menyajikan berbagai makanan dan minuman manis untuk menandai akhir dari waktu berpantang. Makanan seperti kolak, kurma, dan aneka minuman manis spesial telah menjadi bagian integral dari tradisi ini.
Kolak, misalnya, adalah salah satu hidangan yang sangat populer saat berbuka. Terbuat dari bahan-bahan seperti pisang, ubi, dan ketela yang dimasak dalam santan manis, kolak tidak hanya lezat tetapi juga kaya dengan gizi. Selain itu, kurma yang seringkali menjadi pilihan pertama untuk dimakan saat berbuka, memiliki berbagai manfaat kesehatan, termasuk kandungan gula alami yang cepat memberikan energi. Berbagai minuman manis, seperti es buah atau sirup, juga sering disediakan untuk menyegarkan tubuh setelah berpuasa.
Pemilihan makanan manis ini tidak hanya menjadi tradisi, tetapi juga berfungsi untuk mengembalikan energi setelah satu hari penuh menahan lapar dan dahaga. Banyak masyarakat percaya bahwa mengkonsumsi makanan manis saat berbuka puasa dapat membantu memulihkan stamina dengan lebih cepat. Oleh karena itu, saat bulan Ramadhan tiba, pasar akan dipenuhi dengan berbagai jenis sweet drinks dan makanan manis yang ditawarkan, menciptakan suasana meriah dan penuh warna. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tradisi berbuka puasa dengan makanan manis adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman berpuasa yang kaya akan makna dan nilai sosial.”
Tagline Iklan dan Pengaruhnya Terhadap Kebiasaan Masyarakat
Tagline iklan, seperti “Berbuka Puasa dengan yang Manis”, memiliki kekuatan tersendiri dalam membentuk pola pikir dan kebiasaan masyarakat, terutama saat bulan Ramadan. Ketika orang mendengar kalimat tersebut, muncul harapan dan keinginan yang telah diprogram oleh iklan. Mereka mungkin merasa terinspirasi untuk memilih makanan dan minuman yang manis saat berbuka puasa, sejalan dengan promosi yang seringkali berlebihan, yang dapat menciptakan ekspektasi tertentu. Iklan-iklan ini tidak hanya sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi tentang apa yang seharusnya menjadi hidangan berbuka yang ideal.
Pengaruh tersebut seringkali menjadi dorongan bagi individu untuk mengonsumi produk tertentu, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk berpartisipasi dalam tren yang beredar. Misalnya, ketika banyak iklan menampilkan minuman manis, masyarakat dapat merasa terdorong untuk mengikuti tren tersebut, bahkan jika itu tidak sejalan dengan kebutuhan nutrisi mereka. Dampak psikologis dari melihat orang lain atau komunitas mereka menikmati hidangan manis dapat menyebabkan tekanan sosial yang memengaruhi keputusan mereka dalam memilih makanan.
Namun, dampak negatif muncul ketika masyarakat hanya mengikuti tren tanpa mempertimbangkan aspek kesehatan. Mengonsumsi makanan manis yang berlebihan saat berbuka puasa dapat berpotensi merugikan kesehatan dan mengganggu keseimbangan gizi. Disarankan agar individu lebih kritis dalam memilih makanan, dengan mempertimbangkan nutrisi dan kesehatan secara keseluruhan. Masyarakat perlu dilandasi pemahaman bahwa berbuka puasa yang baik seharusnya tidak hanya berbasis pada iklan, tetapi juga pada prinsip kesehatan yang seimbang. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan kesadaran akan pentingnya memilih makanan yang tidak hanya enak tetapi juga bergizi.
Mencari Keseimbangan dalam Berbuka Puasa
Berbuka puasa merupakan waktu yang dinantikan setelah seharian berpuasa. Banyak orang cenderung memilih makanan manis sebagai pilihan utama untuk berbuka, demi mengembalikan energi yang hilang. Namun, penting untuk memahami bahwa keseimbangan gizi juga harus diperhatikan dalam momen ini. Memasukkan berbagai jenis makanan dalam sajian berbuka puasa tidak hanya membantu memulihkan tenaga, tetapi juga mendukung kesehatan secara keseluruhan.
Pada saat berbuka, sebaiknya diawali dengan mengonsumsi air dan satu atau dua buah kurma. Ini adalah tradisi yang sudah ada sejak lama dan memberikan banyak manfaat, termasuk sumber energi cepat serta serat. Setelah itu, disarankan untuk mengumpulkan makanan yang kaya akan karbohidrat kompleks, protein, serta sayuran. Makanan seperti nasi merah, quinoa, atau pasta gandum utuh dapat menjadi pilihan yang baik. Karbohidrat jenis ini membantu menjaga energi dalam jangka panjang.
Lebih lanjut, memasukkan produk protein seperti ayam, ikan, atau tahu sangatlah penting, sebab protein berperan dalam memperbaiki jaringan dan meningkatkan sistem imun. Sayuran segar atau dikukus kaya akan vitamin dan mineral, membantu pencernaan dan menambah kesegaran dalam berbuka puasa. Kombinasi dari ketiga kelompok makanan ini dapat menciptakan hidangan yang tidak hanya lezat, tetapi juga bergizi.
Jangan melupakan pentingnya menjaga hidrasi selama berbuka. Selain air, pilihan minuman seperti jus buah segar tanpa tambahan gula merupakan alternatif yang baik. Ini memastikan tubuh mendapatkan cukup cairan dan membantu proses metabolisme. Dengan mengutamakan keseimbangan dalam berbuka puasa, kita tidak hanya sekadar memenuhi hawa nafsu, tetapi juga memberikan asupan yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita.
Entah sejak kapan mulai populer ungkapan “Berbukalah dengan yang manis“. Ada yang mengatakan sejak sebuah iklan produk minuman menggunakan tagline tersebut di bulan Ramadhan. Sampai-sampai sebagian (atau banyak) orang menganggap ungkapan ini sebagai hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam (!?!)
Yang jelas, tidak ada hadits yang berbunyi “Berbukalah dengan yang manis” atau semisalnya, atau yang mendekati makna itu. Baik dalam kitab hadits maupun kitab fiqih. Tidak ada sama sekali. Namun sayang sekali ungkapan ini disebar-sebarkan sebagai hadits oleh sebagian da’i dan juga public figure semisal para selebritis yang minim ilmu agama. Dan ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
من حدَّثَ عنِّي بحديثٍ وَهوَ يرى أنَّهُ كذِبٌ فَهوَ أحدُ الْكاذبينِ
“barangsiapa yang menyampaikan hadits dariku suatu hadits yang ia sangka bahwa itu dusta, maka ia salah satu dari dua pendusta” (HR. Muslim dalam Muqaddimah-nya).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
كَفَى بِالمَرْءِ إِثْمًا أنْ يُحَدِّثَ بكلِّ ما سمعَ
“cukuplah seseorang dikatakan pendusta ketika ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar” (HR. Abu Daud 4992, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 2025)
Mengenai apa yang dimakan ketika berbuka sendiri sudah ada tuntunannya,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berbuka puasa dengan ruthab sebelum shalat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab (kurma muda) maka dengan tamr (kurma matang), jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air” (HR. Abu Daud 2356, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Namun memang, sebagian ulama dari hadits ini meng-qiyas-kan kurma dengan makanan yang manis-manis. Taqiyuddin Al Hushni, penulis kitab Kifayatul Akhyar menukil pendapat Ar Rauyani yang menyatakan demikian:
وَيسْتَحب أَن يفْطر على تمر وَإِلَّا فعلى مَاء للْحَدِيث وَلِأَن الحلو يُقَوي وَالْمَاء يطهر وَقَالَ الرَّوْيَانِيّ إِن لم يجد التَّمْر فعلى حُلْو لِأَن الصَّوْم ينقص الْبَصَر وَالتَّمْر يردهُ فالحلو فِي مَعْنَاهُ
Namun pendapat ini perlu dikritisi karena:
- Nash hadits tidak mengisyaratkan illah secara tersirat maupun tersurat. Menetapkan sifat “manis” sebagai illah adalah ijtihad sebagian ulama, dan ini tidak disepakati.
- Kurma itu berkah. Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
( إنَّ مِن الشجَرِ لما بَرَكَتُهُ كَبركةِ المسلمِ ) . فَظننتُ أنَّهُ يعني النخلةَ ، فأردتُ أنْ أقول : هي النخلةُ يا رسولَ الله ، ثم التَفتُّ فإذا أنا عاشِرُ عَشَرةٍ أنا أحْدَثهُم فسَكتُّ ، فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ( هيَ النَّخلَة )
“Sesungguhnya ada pohon yang daunnya tidak berguguran, dan ia merupakan permisalan seorang muslim. Pohon apa itu?”. Aku (Ibnu Umar) menyangka yang dimaksud adalah pohon kurma. Namun aku enggan “wahai Rasulullah, itu adalah pohon kurma”, maka aku berpaling. Karena aku terlalu muda untuk bicara kepada mereka, jadi aku diam saja. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberitahu jawabannya: “Pohon tersebut adalah pohon kurma” (HR. Bukhari 131, Muslim 2811).
Dalam kitab Sifat Shaumin Nabi fii Ramadhan (66) karya Syaikh Ali Al Halabi dan Syaikh Salim Al Hilali dikatakan: “ketahuilah wahai hamba Allah yang taat, bahwa kurma itu memiliki keberkahan-keberkahan yang khusus yang bisa mempengaruhi hati dan membersihkannya. Ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengikuti sunnah”.
Jika demikian makanan manis tidak bisa di-qiyas kan pada kurma, karena makanan manis biasa tidak memiliki keberkahan ini.
- Konsekuensi dari qiyas ini berarti jika tidak ada kurma maka yang lebih dulu dimakan adalah makanan manis, jika tidak ada makanan manis baru air. Sedangkan nash mengatakan jika tidak ada kurma maka berbuka dengan air. Walhasil, ini bertentangan dengan nash. Dan qiyas itu tidak boleh bertentangan dengan nash.Ketika menjelaskan syarat-syarat qiyas, diaantaranya Syaikh Muhammad Husain Al Jizani mengatakan: “syarat ke delapan: illah-nya tidak menyelisihi nash atau ijma’. Ini jika illah tersebut merupakan hasil istinbath” (Ushul Fiqh Inda Ahlis Sunnah, 194)
- Banyak ulama menjelaskan alasan mengapa Nabi berbuka dengan kurma dahulu yaitu karena kurma itu manis dan makanan manis itu menguatkan tubuh orang yang puasa. Ini dalam rangka menjelaskan hikmah bukan illah.Hikmah berbeda dengan illah, Syaikh Sa’ad bin Nashir As Syatsri mengatakan: “perbedaan antara illah dan hikmah: illah adalah washfun mundhabitun (sifat yang terukur dan jelas batasannya), sedangkan hikmah tidak selalu berupa washfun mundhabitun. Misalnya safar adalah illah untuk bolehnya meng-qashar shalat, sedangkan ‘menghilangkan kesulitan hamba’ ini adalah hikmah (dari meng-qashar)” (Muqaddimah fii Ilmi Maqashid As Syari’ah, 7).
Namun qiyas Ar Rauyani ini bukanlah qiyas fasid karena sifat “manis” ini masih termasuk sifat yang munasib li binaa-il hukmi (sifat yang cocok untuk dijadikan bahan pemutusan hukum), namun merupakan qiyas yang lemah.
Dan pendapat Ar Rauyani (yang merupakan ulama Syafi’iyah) dibantah oleh banyak ulama fiqih yang lain, termasuk para ulama dari kalangan Syafi’iyah sendiri. Ibnu Hajar Al Haitami mengatakan:
“فإن عجز” عن الثلاث “فبتمرة” أو رطبة يحصل له أصل السنة “فإن عجز” عن الرطب والتمر “فالماء” هو الذي يسن الفطر عليه دون غيره خلافًا للروياني حيث قدم عليه الحلو وذلك للخبر الصحيح المذكور
“[jika tidak ada] tiga tamr atau ruthab [maka dengan satu tamr] atau ruthab. Maka dengan ini tercapai pokok sunnah. [Jika tidak ada] ruthab dan tamr [maka dengan air]. Inilah yang disunnahkan dalam berbuka, bukan yang lainnya. Tidak sebagaimana pendapat Ar Rauyani yaitu ia mendahulukan makanan manis. Pendapat ini (didahulukannya kurma dan air) berdasarkan hadits shahih yang telah disebutkan” (Al Minhajul Qawiim, 1/252)
Zainuddin Al Malibari mengatakan:
قال الشيخان: لا شيء أفضل بعد التمر غير الماء فقول الروياني: الحلو أفضل من الماء ضعيف
“Syaikhan (An Nawawi dan Ar Rafi’i) mengatakan: ‘tidak ada yang lebih afdhal dari kurma selain air minum’. Maka pendapat Ar Rauyani bahwa makanan manis itu lebih afdhal dari air adalah pendapat yang lemah” (Fathul Mu’in, 1/274)
Dalam kitab Hasyiah Al Qalyubi Wa ‘Umairah (2/78) juga disebutkan:
قَوْلُهُ: (عَلَى تَمْرٍ) وَالْأَفْضَلُ كَوْنُهُ وَتْرًا وَكَوْنُهُ بِثَلَاثٍ فَأَكْثَرَ وَيُقَدِّمُ عَلَيْهِ الرُّطَبَ وَالْبُسْرَ وَالْعَجْوَةَ وَبَعْدَهُ مَاءُ زَمْزَمَ، ثُمَّ غَيْرُهُ، ثُمَّ الْحَلْوَاءُ بِالْمَدِّ خِلَافًا لِلرُّويَانِيِّ. وَيُقَدِّمُ اللَّبَنَ عَلَى الْعَسَلِ لِأَنَّهُ أَفْضَلُ مِنْهُ
“perkataan As Suyuthi: ‘dengan kurma’, menunjukkan bahwa yang afdhal berbuka dengan tamr yang jumlahnya ganjil, tiga atau lebih, dan yang lebih utama darinya adalah ruthab dan busr dan ajwah. Dan tingkatan setelah tamr adalah air zam-zam, baru yang lainnya, baru kemudian makanan manis sebagai tambahan. Tidak sebagaimana pendapatnya Ar Ruyani. Dan juga susu diutamakan dari pada madu karena susu lebih utama dari madu”.
Maka kesimpulannya:
- Tidak ada hadits “berbukalah dengan yang manis“.
- Tidak tepat mendahulukan berbuka dengan makanan manis ketika tidak ada kurma. Lebih salah lagi jika mendahulukan makanan manis padahal ada kurma. Yang sesuai sunnah Nabi adalah mendahulukan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma maka dengan air minum. Adapun makanan manis sebagai tambahan saja, sehingga tetap didapatkan faidah makanan manis yaitu menguatkan fisik.
Wallahu a’lam.
Sumber: https://muslimah.or.id/6195-hadits-berbukalah-dengan-yang-manis.html